Jumat, 30 Juni 2017
Warga Tolak Pembangunan Markas TNI di NTT
Meski mendapat protes keras dari masyarakat, TNI Angkatan Darat tetap bersikukuh untuk membangun Batalyon Infantri (Yonif) 746 dan Kompi Kaveleri (Kikav) Tank di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Pemerintah dan DPRD Kabupaten Timor Tengah Utara juga telah menyampaikan keberatan atas rencana pembangunan dua markas TNI tersebut.
Bahkan, DPRD dalam rapat paripurna yang berangsung awal Juni 2009 lalu, menyatakan menolak kehadiran Batalyon Infantri (Yonif) 746 dan Kompi Kaveleri (Kikav) Tank diwilayah itu.
Mereka menolak dengan alasan Timor Leste bukan ancaman bagi Indonesia, dan yang dibutuhkan rakyat adalah pembangunan sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan dan ekonomi, dan bukan markas TNI.
Terhadap penolakan itu, Pangdam IX Udayana, Mayor Jenderal Hotmangaradja Pandjaitan mengatakan, tujuan dibentuknya satuan baru merupakan program pemerintah pusat dibidang pertahanan keamanan demi kepentingan bangsa dan negara.
"Kehadiran dua satuan baru tersebut, akan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat dan pengembangan ekonomi daerah," kata Simanjuntak.
Selain itu, kata Hotmangaradja, Senin 29 Juni 2009, wilayah Timor Tengah Utara yang berbatasan langsung dengan Distrik Oecusi Timor Leste, memiliki nilai strategis dalam upaya menangkal ancaman dan gangguan dari pihak luar.
Sementara mantan Danrem 161 Wirasakti Kupang, Kolonel Infanteri Winston Simanjuntak mengatakan, kehadiran institusi TNI juga akan sangat membantu masyarakat apabila terjadi bencana alam.
"Dengan adanya kekuatan TNI yang cukup maka pihak lain tidak mudah mengklaim wilayah Indonesia. Karena setiap jengkal tanah akan dijaga," kata Simanjuntak.
Dua markas TNI AD tersebut rencananya akan dibangun di atas tanah seluas 20 hektar, di Kecamatan Biboki Aneu, Biboki Fetleu dan Insana. Pembangunan baru akan terlaksana tahun 2019 mendatang.
Sementara itu, Forum Adat Masyarakat Biboki, yang beranggotakan 154 pemangku adat dari bekas kekasaran Biboki di Kabupaten Timor Tengah Utara, dalam suratnya meminta kepada TNI untuk menghentikan aktifitas diatas tanah seluas 60 hektar, yang dihibahkan oleh Hendrikus Makun, seorang warga yang mengatasnamakan pemangku adat Biboki.
Penolakan tersebut, menurut para pemangku adat, lokasi tersebut merupakan kawasan hutan lindung dan merupakan sumber mata air, lahan penggembalaan ternak dan lokasi pekuburan leluhur yang memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat adat Biboki hingga kini.
Laporan: Jemris Fointuna | Kupang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar