Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membacakan puisi karya Denny Januar Ali saat menjadi pembicara di Rapimnas Golkar di Novotel Hotel, Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (22/5/2017).
Puisi itu berjudul: Tapi Bukan Kami Punya (Isi puisi ada di bawah)
Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira menilai bahwa apa yang disampaikan Panglima TNI melalui puisi merupakan fakta tentang kondisi bangsa yang sudah lama terjadi.
Artinya, tegas anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, Jenderal Gatot tidak bermaksud mengkritik pemerintah melalui puisi tersebut.
"Isi puisi itu sebenarnya Kritik dan otokritik terhadap kita sebagai bangsa," ujar Andreas Pareira kepada Tribunnews.com, Selasa (23/5/2017).
Tapi kritik yang disampaikan Panglima TNI tersebut, bukan hal baru. Jauh sebelumnya, Bung Karno sudah dari tahun 1950-an mengingatkan kita tentang bahaya liberalisme-kapitalisne, soal exploitation d'lhome par lhome.
Tentang penting Trisakti Berdaulat dalam bidang politik, Berdikari dalam bidang Ekonomi dan Berkepribadian dalan Kebudayaan.
"Kalau Panglima TNI paham itu, seharusnya, jauh lebih berisi dan bermakna jika panglima berbicara tentang Trisakti, tentang Neokolonialisme-neoimperialisme ajaran Bung Karno. Jauh lebih untuk seorang kesatria TNI, apalagi panglima," jelasnya.
Salah alamat kalau puisi itu maksudnya sebagai perlawanan atau kritik Panglima TNI terhadap Pemerintah.
"Wong...situasi ini lahir karena proses sejak orde baru. Justru pemerintah sekarang sedang mengembalikan ke rel Trisakti," katanya.
"Kalau Panglima bermaksud dengan puisi ini untuk kritik pemerintahan Jokowi, salah alamat deh. Jangan-jangan ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri," ujarnya.
Dikutip dari Kompas.com, Senin (22/5/2017) dilaporkan sebuah puisi pun dibacakan Panglima TNI dalam Rapimnas Golkar untuk menggambarkan suasana kebatinan dari ancaman tersebut.
Puisi karya Denny JA yang dibacakan berjudul: Tapi Bukan Kami Punya
Beberapa penggal puisi tersebut dibacakannya.
Berikut penggalan puisi Denny JA yang dibacakannya:
"Sungguh Jaka tak mengerti, mengapa ia dipanggil ke sini. Dilihatnya Garuda Pancasila, tertempel di dinding dengan gagah. Dari mata burung Garuda, ia melihat dirinya. Dari dada burung Garuda, ia melihat desa. Dari kaki burung Garuda, ia melihat kota Dari kepala burung Garuda, ia melihat Indonesia."
"Lihatlah hidup di desa, sangat subur tanahnya. Sangat luas sawahnya, tapi bukan kami punya. Lihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling. Desa yang kaya raya, tapi bukan kami punya. Lihatlah hidup di kota, pasar swalayan tertata. Ramai pasarnya, tapi bukan kami punya. Lihatlah aneka barang, dijual belikan orang. Oh makmurnya, tapi bukan kami punya."
Gatot mendapatkan sambutan tepuk tangan peserta Rapimnas Partai Golkar saat mengakhiri pembacaan puisi itu.
Ia menyampaikan bahwa puisi itu merupakan gambaran tangisan dari penduduk di suatu wilayah, yakni penduduk Melayu.
Wilayah tersebut adalah Singapura. Sempat menjadi kelompok mayoritas di daerah tersebut, penduduk Melayu di Singapura kini justru terpinggirkan.
"Kalau kita tidak waspada, suatu saat bapak ibu sekalian duduk di sini, anak cucunya tidak. Duduk di pinggiran," kata Gatot kembali disambut tepuk tangan hadirin.
(Srihandriatmo Malau)
Puisi yang Di baca Jendral Gatot Klik Di sini : Berikut Tulisan dan video puisi lengkap 'Tapi Bukan Kami Punya' yang dibacakan Jendral Gatot Nurmantyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar